Posts Tagged With: kisah hidup

Sepiring Nasi Bernilai Kesopanan


Sepiring Nasi Bernilai Kesopanan

Oleh : Raidah Athirah

Serial Memoar Sang Anak Pengungsi .Sebab Hidup Adalah Perjalanan

***
Selalu setiap saat , manakala aku menyiapkan sepiring nasi kepada Abu Aisha , kenangan peristiwa silam selalu datang.Nasi yang menjadi saksi tentang perjalanan melintas masa dari ujung senja Maluku , melalui pelangi rasa di negeri Sang Paulus , Polandia sampai berada di pucuk Aurora Norwegia .

10419047_650102731764091_8856231213293978674_n

Air laut selalu mengingatkan kepada tanah lahir Cengkeh dan Pala , Maluku

Warna-warni perjalanan yang tak bisa berlalu begitu saja.Dari waktu ke waktu kenangan itu mengendap melahirkan mata yang beranak sungai , ia perlu kukenang agar perjalanan ini selalu penuh syukur .

Selepas sekolah aku mulai dengan kebiasaanku , menyusuri jalanan dari Takoma menuju Ngidi.Atau sebaliknya.Selepas fajar aku melangkah meninggalkan rumah megah tempat kami menumpang.Pemilik rumah itu masih terhitung kerabat bapakku.Entahlah aku tak tahu.Aku hanya tahu bahwa perjalanan ini telah menjadi tak biasa.

10444006_651047215002976_9155954901988406038_n

Perjalanan bersama Abu Aisha , sebuah karunia yang luar biasa dari Allah Swt

10516600_723289457718349_643795934028980203_n

Di pucuk Aurora Norwegia , mengenang perjalanan yang tak biasa

Sesusah apapun , berada di rumah sendiri adalah harapan hidup semua orang.Konflik, huru-hara , dan perang melahirkan rasa terbuang , terkadang putus asa pun hinggap manakala tak lagi ada iman.

Aku menangkap raut wajah penuh kesusahan pada wajah wanita yang kupanggil ‘ Mama ‘.Menumpang hidup bukanlah pilihan .Apalagi membawa serta anak-anak yang masih kecil.Tak bisa dikata aku adalah gadis kecil di masa itu.Seragam sekolahku memiliki bawahan biru, tepatnya biru tua.

Ada yang berkata bahwa warna biru tua melambangkan komunikasi dan kepercayaan.Warna ini memberi arti bahwa setiap siswa dapat berkomunikasi dengan baik dan penuh percaya diri.Klise memang, nyata yang datang adalah aku dan ribuan anak-anak pengungsi harus belajar berjalan tegak setelah perang yang memporak-porandakan kehidupan.
Kini, harga diri harus berperang dengan penuh percaya diri.Percaya bahwa harga diri harus dijaga , sesulit apapun kebutuhan memaksa masuk, muruah itu tak boleh lenyap.

****
Dalam ruangan berubin putih , aku duduk dengan hati bimbang.Seragam putih dengan rok berwarna biru tua telah kukenakan.Ini seragam pemberian ibu kepala sekolah SMP Negeri 7 Ternate kepada aku sang anak pengungsi.Tak terlihat kerudung di kepala .Ada semacam berat untuk kuungkapkan bahwa aku perlu mengganjal perut sebelum berjalan menyusuri jalanan Ngidi sampai di areal Taman Siswa .

Ibuku telah mengajarkan dengan tegas tentang nilai yang harus dijaga , kesopanan.Apalagi status kami adalah menumpang di rumah orang.Tak bisa seenak hati berperilaku layaknya di rumah sendiri.

Perutku memang tak mengenal kesopanan , ia terus menyanyikan lagu keroncong atau bisa kukata ia berteriak minta diisi.Apa daya hidup menumpang.Aku tak bisa makan lebih awal sebelum tuan rumah menyendok nasi terlebih dahulu di piring kaca.

nasiputih

Sumber gambar : Google.Sepiring nasi

” Mama, beta pigi bajalan sekolah jua e , supaya bisa bajalang palang -palang .” Aku bersuara pelan atau mungkin terdengar seperti berbisik ke arah ibuku yang masih sibuk di dapur.

Dapurnya luas.Semua perabot tertata rapi.Piring dan gelas kaca berjejer rapi .Nasi telah ditanak.Tak lupa ikan asap dibuat rica-rica .Dua ikat kangkung pun telah ditumis.Harumnya tak terkira.Semua tersaji diatas meja , ditutup saji.Tetapi ini bukan dapur ibuku.Aku hanya menatap lirih dari tangga yang menghubungkan ruang tamu dan areal dapur .

Ibuku berhenti mencuci bekas periuk dan beberapa alat dapur yang baru saja dipakai untuk memasak.Beliau menoleh kearahku setelah mendengar bunyi langkah kaki gontai dan suara yang terdengar samar-samar.

” Cum…., maso ka kamar dolo ! ” Suara ibuku bernada perintah.

Ibu memintaku melangkah kembali ke kamar .Ada rasa penasaran .Biar sudah aku tak bicara tentang perutku yang meraung tak karuan.Beliau telah cukup menanggung beban hidup yang berat setelah bapak dan abangku berlayar ke Halmahera mencari hidup yang lebih layak.

Tak pantas rasanya lelaki juga ikut hidup menumpang.Begitu kata bapakku kepada kami.Dan tinggallah kami berempat perempuan yang menumpang hidup di rumah yang berada dekat di kaki gunung Gamalama.Menanggung rasa tak ada pilihan.

Aku melangkah ke kamar , melepas sepatu dan meletakan tas pikul lusuh di atas tempat tidur.Dan duduk menunggu ibuku .Sepuluh menit kemudian terdengar langkah ibu menuju kamar .Beliau membawa sepiring nasi yang berisi potongan kecil ikan asap rica-rica dan sedikit tumisan kangkung.

Makang capat-capat , la mama cuci piring itu lai.Jang bajalang deng poro kosong ! ” Suaranya terdengar sedikit gugup.

Aku paham tentang rasa itu.Walaupun tak banyak kata-kata , beliau tak sampai hati membiarkanku berjalan dengan perut kosong ke sekolah dengan jarak yang cukup menantang.Menanti tuan rumah makan terlebih dahulu tentu membuatku terlambat ke sekolah.

Ibuku mengunci ruangan kamar tempat kami berada . Aku mengucap bismillah dan mulai menguyah makanan itu dengan cepat.Memang tak baik makan tergesa-gesa. Tetapi perutku sudah tak mengenal rasa itu , rasa malu karena sudah tak sopan di rumah orang.

Aku tak tahu harus berkata apa. Sebuah gelisah merebak di antara kami
Pemandangan yang sungguh melahirkan pilu . Aku makan dengan rasa haru , beliau entah berfikir apa.Hanya terdengar gerakan desahan nafas.Kami berada di titik rasa yang sulit diurai kata.Sampai beberapa menit kemudian , adik bungsuku yang telah lelah bermain mengetuk pintu kamar.

Mama , beta su lapar.Hampir saja beta makan rumpu-rumpu diluar .” Kata-katanya membuyarkan keheningan , melahirkan senyum .

Ibuku akhirnya merelakan kesopanannya tergadai agar kami tak menahan lapar terlalu lama.

Tunggu disini. Nanti makang di bakas Kaka Cum pung piring

Wajah adikku penuh sumringah .Aku mencium tangan ibuku dan mengikat erat tali sepatu.Langkahku kini tegap , semangatku menyala dan hatiku diliputi harapan .Doaku di sepanjang perjalanan dari Ngidi sampai Takoma agar susah ibuku tak sia-sia.

Siang itu di rumah tumpangan .Aku menghabiskan sepiring nasi yang bernilai kesopanan.Aku berharap ini hanya sepenggal rasa , mungkin karena aku merindukan kenyamanan dari rumah Pela yang hancur lebur dimakan rusuh. Ambon Manise tentang gerimis hati mengingat senja merah di tanggal 19 Januari .Namun aku paham, selalu ada rasa Gandong yang jelas terekam , bagaimana masa kanak-kanak penuh jernih mengenang petikan bulir-bulir cengkeh dan pala di pucuk kokoh tanah Maluku.

****
Di bawah kaki Gunung Gamalama
Ternate , 1999

Categories: Uncategorized | Tags: , , , , , , , , , | 1 Comment

Antara Aku dan Pengungsi Suriah Bag III


Antara Aku dan Pengungsi Suriah Bag III

 

Oleh : Raidah Athirah

 

Sebagai (bekas) anak pengungsi saya tumbuh di tengah berbagai potret sedih dan pilu yang saya rekam dalam memori otak saya.Kesulitan pengungsi Suriah yang hendak masuk ke Turki melalui jalur perbatasan Bab Al-Hawa di Idlib Utara yang berbatasan dengan Turki mengingatkan saya saat baru pertama kali tiba di Ternate bersama keluarga. Kabar yang saya baca ,beberapa keluarga pengungsi Suriah ditolak masuk ke Turki karena ketiadaan paspor atau dokumen lainnya.

 

Ini hal yang wajar karena menumpuknya pengungsi Suriah yang masuk ke wilayah Turki.Apalagi ini sudah berkaitan dengan urusan antar negara.Bedanya saya dan anak-anak pungungsi lain yang masuk di Ternate adalah kami masih antar wilayah.Sebagain hanya datang membawa pakaian di badan .Apalagi setelah pecah kerusuhan Tobela.Jumlah pengungsi dari hari ke hari semakin bertambah.Potret sedih pun berhamburan dimana-mana.

 

Saya sudah masuk dalam fase remaja.Merekam setiap kejadian- kejadian yang terjadi baik bagi saya dan keluarga maupun pengungsi lainnya.Kami datang tanpa membawa dokumen apapun.Ah! , bagaimana kami memikirkan untuk menyelamatkan dokumen jika nyawa kami berada di ujung kematian.Kerusuhan yang terjadi itu mendadak, tak ada yang pernah membayangkan kalau Ambon akan menjadi kota yang pahit penuh darah.Begitupun dengan anak-anak pengungsi Suriah. Saya pikir mereka juga tidak pernah membayangkan bahwa mereka akan menjadi pengungsi dan hidup menunggu belas kasihan.

 

Terkutuklah para penguasa gila!. Semoga Allah Tuhan Yang Maha Perkasa menghukum para bedebah itu , jika tidak di dunia.Semoga mereka ditenggelamkan ke dasar neraka!. Saya tidak sedang marah,tetapi mengutuk.Tapi karena dengan mengukutuk tidak akan membawa perubahan apa-apa, maka hal yang paling penting adalah berdo’a dan berempati dengan tindakan nyata.Sebagai (bekas) anak pengungsi ,saya dan anak-anak lainnya di masa itu tumbuh dengan bantuan orang-orang yang memiliki rasa penyayang.Entah siapapun itu semoga Allah Tuhan Yang Maha Rahman membalas mereka dengan ribuan kebaikan.

 

***

 

Saat kami ingin melanjutkan sekolah di tempat baru,kami dipusingkan dengan masalah dokumen.Saya tidak akan pernah lupa betapa sibuknya kedua orang tua saya bertanya sana-sini.Mendiang bapak say yang tercinta berusaha sebisa mungkin mengontak orang-orang yang beliau kenal agar kami bisa bersekolah lagi.Ibu saya pun tak kalah pusing memikirkan seragam sekolah yang harus kami beli. Saya masih ingat saat kedua orang tua saya membawa saya dan adik perempuan ke SLTP Negeri 7 Ternate.Sekali lagi ,saya tidak malu menceritakan hal ini.Karena status sebagai pengungsi bukanlah keinginan saya dan anak-anak pengungsi lainnya.Saya hanya ingin menguraikan rasa ini sebagai (bekas) anak pengungsi.

 

Kami duduk di ruang kepala sekolah SLTP Negeri 7 .Berpakaian ala kadarnya.Alhamdulillah betapa saya bahagia mengingat perkataan ibu Farida kepala sekolah saat itu.Bahwa kami mulai besok sudah bisa bersekolah.Beliau juga memberikan pakaian seragam lengkap dengan kerudung putih.Di sekolah ini juga saya bertemu dengan anak-anak pengungsi lainnya.Masa ini adalah masa paling bahagia.Apalagi yang diinginkan anak-anak selain bermain dan berkumpul dengan sesama teman sejawat.

 

Berani sekali saya menceritakan kisah ini kepada anda.Iya .Saya dengan sengaja menulis ini kala melihat foto anak-anak pengungsi Suriah .Karena mereka mengingatkan saya kepada masa yang telah saya lalui sebagai ( bekas) anak pengungsi.Di masa itu pula saya merekam potret sedih yang terjadi.

 

Setelah pecah kerusuhan Tobelo.Banyak pengungsi mulai berdatangan ke kota Ternate.Beberapa keluarga hidup dalam satu rumah.Ada juga bahagia disana.Bersama berbagi cerita sesama pengungsi.Tapi di sisi lain ada potret-potret sedih yang sudah terbingkai luka.Saya ceritakan kepada anda tentang gadis cantik berambut agak kecoklatan . Untuk ukuran orang lokal gadis ini sungguh cantik.Tapi perilaku dan kisahnya menceritakan luka yang mendalam.

 

Saya tidak tahu bagaimana dia bisa bersama kami menempati rumah kosong itu.Perilakunya sungguh aneh.Terkadang saat dia berada dalam kesadaran dia begitu cantik,lugu .Sesekali bercengkrama dengan kami penuh riang.Tetapi saat ketidak warasannya timbul ,dia berteriak histeris bahkan merobek-robek pakaiannya.Desas-desus yang saya dengar dari cerita orang-orang pengungsi disamping kami.Dia adalah korban perkosaan yang terjadi dalam tragedi kemanusiaan di Tobelo

 

Karena perilaku gadis ini pula ibu saya seperti paranoid.Tapi saya anggap wajar , ibu mana di dunia ini yang tidak sakit dan pilu melihat anak gadisnya ditimpa malapetaka demikian rupa.Sebagai pengungsi posisi kami lemah. Orang- orang gila dan jahat berhati iblis bisa kapan saja memanfaatkan kami untuk nafsu syaitan.Hanya kepada Allah Tuhan Tempat kami memohon pertolongan.

 

Di kota ini pula saya berkenalan dengan karya -karya sastra anak negeri.Nama Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia bagi saya sudah seperti nama saudari kandung.Bagaimana tidak jika saya dengan susah payah membeli buku mereka ,padahal saat itu saya sebagai (bekas ) anak pengungsi punya keterbatasan ekonomi.Jika saya tak bisa membeli buku maka, saya akan menuju kiosk langganan saya yang dekat dengan mesjid untuk sekedar membeli majalah Annida edisi lama yang jauh lebih murah.Saya kemudian tenggelam dalam cerpen-cerpen karya Sinta Yudisia dan Afifa Afra Amatullah.

 

Sungguh ini bukan cerita cerpen.Ini adalah jalinan-jalinan memori yang telah saya bingkai kuat saat berstatus (bekas ) anak pengungsi.Anda boleh meminjam memori saya untuk menelusuri potret- potret jejak orang-orang pengungsi.Jika ini tak bisa meyakinkan anda,maka mari saya antar kan anda ke masa lalu melalui tulisan saya.Agar anda mengerti dan kemudian lebih bersyukur .Jangan pernah berputus asa apalagi mengubur mimpi .Kalau sampai anda melakukan itu ,sungguh jiwa anda telah mati.

 

Saya akan mengisahkan kepada anda tentang potret dua anak laki-laki yang berdiri dengan mata mengharap belas kasih. Memandang ke arah sebuah gerobak ,tempat seorang ibu berjualan gorengan.Mata saya terus memperhatikan mereka. Saya mengenal mereka sebagai anak-anak pengungsi ,karena selepas pulang sekolah saya selalu melewati rumah yang terlihat agak rusak bekas kerusuhan kecil di Ternate.Tak lama kemudian seorang wanita berkerudung lebar dengan senyum cahaya menuju tempat itu.Dan beberapa gorengan dalam tas kresek kecil sudah berpindah ke tangan anak-anak itu.Mereka terlihat bahagia,wanita itu tersenyum dan saya memotret kejadian itu serta membingkainya dalam memori.

 

Saya bermimpi menuliskan sesuatu di kertas.Mimpi tidur ini mendorong saya menuliskan dalam bentuk diary.Inilah alasan mengapa saya bisa menggambarkan potret anak-anak pengungsi ini dengan terang kepada anda. Itu adalah mimpi anak-anak di tengah kehidupan sebagai pengungsi.Saya menyimpan peristiwa demi peristiwa dalam memori .Suatu hari kelak dengan izin Allah Tuhan Yang Maha Mengabulkan membimbing saya menuliskan ,menggambarkan serta menguraikan potret-potret kehidupan sebagai (bekas) anak pengungsi.Tulisan ini adalah wujud masa yang telah tiba untuk saya uraikan potret kisah orang-orang pengungsi .Tentang harga diri, mimpi dan juga perjuangan menghapus luka dan duka.

 

Maha Suci Allah Tuhan Yang Maha Mengetahui telah tiba masa ini saya menuliskan kisah ini untuk anda.Cerita ini bersifat subjektif,karena saya yang melalui, mengalami,memotret dan membingkainya menjadi satu frame cerita tentang perasaan sebagai ( bekas) anak pengungsi.Agar anda bisa memandang dengan penuh kasih anak -anak Suriah dan anak-anak pengungsi lainya di seluruh bumi Allah.

negeri dimana saya kini

negeri dimana saya kini

 

 

 

 

Categories: Uncategorized | Tags: , , , | 5 Comments

Blog at WordPress.com.