Sepiring Nasi Bernilai Kesopanan
Oleh : Raidah Athirah
Serial Memoar Sang Anak Pengungsi .Sebab Hidup Adalah Perjalanan
***
Selalu setiap saat , manakala aku menyiapkan sepiring nasi kepada Abu Aisha , kenangan peristiwa silam selalu datang.Nasi yang menjadi saksi tentang perjalanan melintas masa dari ujung senja Maluku , melalui pelangi rasa di negeri Sang Paulus , Polandia sampai berada di pucuk Aurora Norwegia .
Warna-warni perjalanan yang tak bisa berlalu begitu saja.Dari waktu ke waktu kenangan itu mengendap melahirkan mata yang beranak sungai , ia perlu kukenang agar perjalanan ini selalu penuh syukur .
Selepas sekolah aku mulai dengan kebiasaanku , menyusuri jalanan dari Takoma menuju Ngidi.Atau sebaliknya.Selepas fajar aku melangkah meninggalkan rumah megah tempat kami menumpang.Pemilik rumah itu masih terhitung kerabat bapakku.Entahlah aku tak tahu.Aku hanya tahu bahwa perjalanan ini telah menjadi tak biasa.
Sesusah apapun , berada di rumah sendiri adalah harapan hidup semua orang.Konflik, huru-hara , dan perang melahirkan rasa terbuang , terkadang putus asa pun hinggap manakala tak lagi ada iman.
Aku menangkap raut wajah penuh kesusahan pada wajah wanita yang kupanggil ‘ Mama ‘.Menumpang hidup bukanlah pilihan .Apalagi membawa serta anak-anak yang masih kecil.Tak bisa dikata aku adalah gadis kecil di masa itu.Seragam sekolahku memiliki bawahan biru, tepatnya biru tua.
Ada yang berkata bahwa warna biru tua melambangkan komunikasi dan kepercayaan.Warna ini memberi arti bahwa setiap siswa dapat berkomunikasi dengan baik dan penuh percaya diri.Klise memang, nyata yang datang adalah aku dan ribuan anak-anak pengungsi harus belajar berjalan tegak setelah perang yang memporak-porandakan kehidupan.
Kini, harga diri harus berperang dengan penuh percaya diri.Percaya bahwa harga diri harus dijaga , sesulit apapun kebutuhan memaksa masuk, muruah itu tak boleh lenyap.
****
Dalam ruangan berubin putih , aku duduk dengan hati bimbang.Seragam putih dengan rok berwarna biru tua telah kukenakan.Ini seragam pemberian ibu kepala sekolah SMP Negeri 7 Ternate kepada aku sang anak pengungsi.Tak terlihat kerudung di kepala .Ada semacam berat untuk kuungkapkan bahwa aku perlu mengganjal perut sebelum berjalan menyusuri jalanan Ngidi sampai di areal Taman Siswa .
Ibuku telah mengajarkan dengan tegas tentang nilai yang harus dijaga , kesopanan.Apalagi status kami adalah menumpang di rumah orang.Tak bisa seenak hati berperilaku layaknya di rumah sendiri.
Perutku memang tak mengenal kesopanan , ia terus menyanyikan lagu keroncong atau bisa kukata ia berteriak minta diisi.Apa daya hidup menumpang.Aku tak bisa makan lebih awal sebelum tuan rumah menyendok nasi terlebih dahulu di piring kaca.
” Mama, beta pigi bajalan sekolah jua e , supaya bisa bajalang palang -palang .” Aku bersuara pelan atau mungkin terdengar seperti berbisik ke arah ibuku yang masih sibuk di dapur.
Dapurnya luas.Semua perabot tertata rapi.Piring dan gelas kaca berjejer rapi .Nasi telah ditanak.Tak lupa ikan asap dibuat rica-rica .Dua ikat kangkung pun telah ditumis.Harumnya tak terkira.Semua tersaji diatas meja , ditutup saji.Tetapi ini bukan dapur ibuku.Aku hanya menatap lirih dari tangga yang menghubungkan ruang tamu dan areal dapur .
Ibuku berhenti mencuci bekas periuk dan beberapa alat dapur yang baru saja dipakai untuk memasak.Beliau menoleh kearahku setelah mendengar bunyi langkah kaki gontai dan suara yang terdengar samar-samar.
” Cum…., maso ka kamar dolo ! ” Suara ibuku bernada perintah.
Ibu memintaku melangkah kembali ke kamar .Ada rasa penasaran .Biar sudah aku tak bicara tentang perutku yang meraung tak karuan.Beliau telah cukup menanggung beban hidup yang berat setelah bapak dan abangku berlayar ke Halmahera mencari hidup yang lebih layak.
Tak pantas rasanya lelaki juga ikut hidup menumpang.Begitu kata bapakku kepada kami.Dan tinggallah kami berempat perempuan yang menumpang hidup di rumah yang berada dekat di kaki gunung Gamalama.Menanggung rasa tak ada pilihan.
Aku melangkah ke kamar , melepas sepatu dan meletakan tas pikul lusuh di atas tempat tidur.Dan duduk menunggu ibuku .Sepuluh menit kemudian terdengar langkah ibu menuju kamar .Beliau membawa sepiring nasi yang berisi potongan kecil ikan asap rica-rica dan sedikit tumisan kangkung.
“ Makang capat-capat , la mama cuci piring itu lai.Jang bajalang deng poro kosong ! ” Suaranya terdengar sedikit gugup.
Aku paham tentang rasa itu.Walaupun tak banyak kata-kata , beliau tak sampai hati membiarkanku berjalan dengan perut kosong ke sekolah dengan jarak yang cukup menantang.Menanti tuan rumah makan terlebih dahulu tentu membuatku terlambat ke sekolah.
Ibuku mengunci ruangan kamar tempat kami berada . Aku mengucap bismillah dan mulai menguyah makanan itu dengan cepat.Memang tak baik makan tergesa-gesa. Tetapi perutku sudah tak mengenal rasa itu , rasa malu karena sudah tak sopan di rumah orang.
Aku tak tahu harus berkata apa. Sebuah gelisah merebak di antara kami
Pemandangan yang sungguh melahirkan pilu . Aku makan dengan rasa haru , beliau entah berfikir apa.Hanya terdengar gerakan desahan nafas.Kami berada di titik rasa yang sulit diurai kata.Sampai beberapa menit kemudian , adik bungsuku yang telah lelah bermain mengetuk pintu kamar.
” Mama , beta su lapar.Hampir saja beta makan rumpu-rumpu diluar .” Kata-katanya membuyarkan keheningan , melahirkan senyum .
Ibuku akhirnya merelakan kesopanannya tergadai agar kami tak menahan lapar terlalu lama.
” Tunggu disini. Nanti makang di bakas Kaka Cum pung piring ”
Wajah adikku penuh sumringah .Aku mencium tangan ibuku dan mengikat erat tali sepatu.Langkahku kini tegap , semangatku menyala dan hatiku diliputi harapan .Doaku di sepanjang perjalanan dari Ngidi sampai Takoma agar susah ibuku tak sia-sia.
Siang itu di rumah tumpangan .Aku menghabiskan sepiring nasi yang bernilai kesopanan.Aku berharap ini hanya sepenggal rasa , mungkin karena aku merindukan kenyamanan dari rumah Pela yang hancur lebur dimakan rusuh. Ambon Manise tentang gerimis hati mengingat senja merah di tanggal 19 Januari .Namun aku paham, selalu ada rasa Gandong yang jelas terekam , bagaimana masa kanak-kanak penuh jernih mengenang petikan bulir-bulir cengkeh dan pala di pucuk kokoh tanah Maluku.
****
Di bawah kaki Gunung Gamalama
Ternate , 1999